School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)
School tot Opleiding van Indische Artsen (bahasa Indonesia: Sekolah Pendidikan Dokter Hindia), atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA, adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia-Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sejarah pendirian
Kekhawatiran akan kurangnya tenaga juru kesehatan untuk menghadapi berjangkitnya berbagai macam penyakit berbahaya di wilayah-wilayah jajahannya, membuat pemerintah kolonial menetapkan perlunya diselenggarakan suatu kursus juru kesehatan di Hindia Belanda. Pada 2 Januari 1849, dikeluarkanlah Surat Keputusan Gubernemen no. 22 mengenai hal tersebut, dengan menetapkan tempat pendidikannya di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya).
Pada tahun 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya berhak bergelar "Dokter Djawa", akan tetapi sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar.
Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi). Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, termasuk penduduk keturunan "Timur Asing"[2] dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya untuk penduduk pribumi. Pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja yang lulus ujian dan masuk dengan biaya sendiri. Perubahan selanjutnya
Nama STOVIA tetap digunakan hingga tanggal 9 Agustus 1927, yaitu saat pendidikan dokter resmi ditetapkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (atau Sekolah Tinggi Kedokteran). Sempat terjadi beberapa kali lagi perubahan nama, yaitu Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) pada masa pendudukan Jepang dan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang masih tetap berlaku hingga sekarang.
STOVIA: Kisah Sekolah Dokter Gratis Di Jaman Kolonial Anda tahu berapa biaya masuk Fakultas Kedokteran sekarang ini? Kata Alm.Menteri Kesehatan, Endang Rahayu, biaya kuliah di fakultas kedokteran rata-rata antara Rp 35 sampai Rp 50 juta per mahasiswa per semester.
Namun, di sejumlah perguruan tinggi negeri, biaya SPP fakultas kedokteran bisa mencapai ratusan juta. Di Universitas Airlangga, pada jalur yang disebut Penelusuran Minat dan Kemampuan Umum atau PMDK Umum, biaya SPP-nya bisa mencapai 800-an juta. (Sumber: Kompas)
Anda pernah dengar STOVIA? STOVIA dikenal sebagai pencetak tokoh pergerakan generasi awal: Tjipto Mangungkusumo, Wahidin Soedirohusodo, dan Dr. Sutomo. STOVIA ini singkatan dari School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera). Pada tahun 1903, sekolah ini diubah menjadi STOVIA. Tetapi versi lain menyebutkan, perubahan nama terjadi pada 1889, yaitu menjadi chool tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen. Lalu, pada 1898, sekolah ini berubah nama lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). STOVIA juga membebaskan mahasiswanya dari kewajiban membayar. Selain itu, mahasiswa juga mendapat alat-alat kuliah dan seragam gratis. Juga setiap mahasiswa menerima uang saku sebesar 15 gulden per-bulan. Hal Ini untuk mendongkrak minat orang muda masuk ke sekolah dokter. STOVIA sering disebut sekolah orang miskin.
Kenapa STOVIA bisa menjadi pusat gerakan dan melahirkan banyak aktivis?
Dengan pembebasan biaya itu, maka banyak orang dari keluarga kurang mampu atau golongan priayi rendah masuk ke sekolah tersebut. Wahidin sendiri, misalnya, bukan seorang “Raden”. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru.
Salah satu tokoh yang juga sangat berkontribusi bagi pembangunan pergerakan di STOVIA adalah Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi). Ia tinggal di dekat STOVIA. E. Douwes Dekker saat itu, yang sudah bekerja sebagai wartawan, punya perpusatakaan dan ruang baca di rumahnya. Itulah yang menarik para mahasiswa STOVIA datang ke rumahnya.
Douwes Dekker ketika itu bekerja di Bataviaas Nieusblad, sebuah surat kabar yang awalnya cukup radikal. Lalu, ia merekrut sejumlah mahasiswa STOVIA untuk dimasukkan di koran tersebut. Dengan koran itu, Douwes Dekker menyiarkan pandangan politiknya. Di situ pula para mahasiswa menyerap banyak informasi. Salah satunya tentang kebangkitan gerakan kaum muda di Turki. Mahasiswa mendiskusikan kejadian-kejadian tersebut. Selain itu, kehadiran sosok Wahidin Soediro Hoesodo, seorang dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa, juga sangat mempengaruhi kelahiran pergerakan. Di kampus STOVIA inilah berdiri organisasi “Boedi Oetomo”.