0

Belajar Mengatakan Tidak

Tuesday, April 12, 2011
Share this Article on :
Banyak di antara kita hidup sebagai sosok yang terbelenggu untuk selalu mengatakan ”ya”, padahal dalam hati kita sebenarnya ingin sekali mengatakan ”tidak”, baik untuk kepentingan diri kita sendiri maupun untuk kepentingan orang yang cenderung bergantung pada kita. Apalagi, kita berpikir bahwa ketergantungan pada kita, justru membuat orang tertentu tidak mandiri, tidak berkembang karena selalu kita berikan pertolongan padanya dan dengan mudah pula, dirinya mengulang dan mengulang minta tolong pada kita.

”Ibu, saya adalah kakak dari seorang adik laki-laki (H) yang sudah berumur 36 tahun, kami dua bersaudara dan kedua orangtua kami sudah sekitar 7 tahun yang lalu meninggal dunia selang beberapa bulan. Saat orangtua meninggal dunia, H sudah sarjana dan saya sendiri juga sudah berkeluarga dengan 2 anak. H sebenarnya cukup sukses dalam karier, saya rasa gajinya bahkan berlebih untuk hidupnya sendiri, tapi H belum bermaksud berumah tangga, H tinggal di kota J dan menyewa satu paviliun di daerah elite di J.

Tadinya, H hidup mandiri bahkan saat kedua orangtua saya masih hidup, H sanggup mengirim uang setiap bulan untuk menunjang kehidupan orangtua. Memang saat orangtua hanya berselang beberapa bulan meninggal dunia karena penyakit yang mereka derita, H tampak terpukul, hingga beberapa bulan terserang depresi, seolah gairah hidupnya sirna.

Syukurlah dengan berobat kepada seorang psikiater di J, akhirnya H pulih kembali dan bekerja seperti biasa. Namun apa yang terjadi, H menjadi seorang pengeluh, kalau mengeluh sampai hampir setengah jam menelepon saya. Tadinya karena saya kasihan, selalu saya tanggapi dan dengarkan sambil memberinya nasihat-nasihat agar H tidak sedih, seberapa lama pun H menelepon. Namun, lama-kelamaan setiap telepon, ujungnya selalu meminta saya meminjamkan uang untuk satu kegiatan. Kalau saya tanya untuk apa, H tidak mau menjelaskan secara rinci.

Saya tidak berani menolak keinginannya karena saya takut H terserang depresi lagi. Saya perhatikan jeda waktu menelepon dengan keluhan bertubi, baik dari kantor tempatnya bekerja maupun dari kehidupan kesehariannya semakin singkat, bahkan dalam beberapa kali terakhir ini, setiap sekitar 15 hari, H menelepon, mengeluh dan minta dikirimi uang, dengan janji akan dikembalikan beberapa minggu lagi. Namun, hingga saat ini H belum pernah mengembalikan uang saya.

Sementara saya sendiri masih banyak kebutuhan karena kedua anak saya sudah menjelang remaja. Dalam masalah H ini, memang saya tidak terbuka pada suami karena saya juga bekerja dan saya tidak mengganggu uang suami. Bu, apa yang harus saya lakukan, saya jenuh dan kesal, tapi tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi perilaku H ini. ”

K (40 tahun) Belajar untuk tidak selalu berperan sebagai penolong

Dari analisa persoalan yang dihadapi K, kita belajar bahwa tampaknya K khawatir hubungan dengan adiknya rusak bila dirinya tidak menanggapi keluhan H. Namun, saat ini justru K merasa pertolongan yang diberikan pada H menjadi sangat berlebihan sehingga membuat H akhirnya menjadi sangat manipulatif memanfaatkan kebaikannya.

Memang, menjaga relasi tetap baik dengan siapa pun tidak mudah, namun bila jenis relasi yang terbina justru membelenggunya, berarti K harus melakukan sesuatu. Untuk itu, K harus menutup pola relasi yang selama ini telah terbina dengan H, dengan cara menghentikan pertolongan berlanjut. Apa yang harus dikatakan saat H meneleponnya adalah:

”Saya tahu saat ini saya tidak bisa menolong kamu lagi, saya hanya ingin tahu apa yang saat ini kamu kerjakan dan membuat dirimu tahu bahwa saya memberikan perhatian padamu.”

Tentu saja perubahan pola relasi secara tiba-tiba akan mengganggu perasaan keduanya, tetapi kondisi ini harus diupayakan. K juga harus mengatakan bahwa dia terlampau sibuk untuk berlama-lama menanggapi keluhan H di telepon. Agar perubahan pola relasi tidak memberikan pengaruh yang buruk, hendaknya K pun mengajak H mengunjungi rumahnya di kota T, dengan mengatakan:

”Datanglah minggu depan, kita makan bersama keluargaku, kamu bisa ketemu dan bercanda dengan keponakan-keponakanmu, ya.”

Dengan ajakan ini, K menanamkan pengertian bahwa perubahan pola relasi tidak berarti memutuskan hubungan silaturahim dengan keluarga. Memang sulit juga menjalin pola relasi baru dalam situasi ini, tetapi K harus menguatkan hatinya. Untuk kemudian di saat yang tepat, menyatakan bahwa, ”Terus terang saya sendiri saat ini banyak keperluan, sehingga tidak mungkin lagi meminjamkan uang padamu.”

Melalui kalimat ini, K mengomunikasikan bahwa persoalan dalam hidup tidak hanya dihadapi oleh H seorang. Bahwa setiap orang memang harus mencoba mengatasi persoalan dalam kehidupannya.

Reaksi kontra

Pasti ada reaksi kontra, baik dari diri K maupun H. K akan merasa dirinya sebagai sosok kakak yang tidak bertanggung jawab terhadap adiknya dan H akan berupaya merengek dengan mengatakan bahwa tega betul kakaknya, tidak mau membayarkan sewa paviliun, ”aku akan tinggal di mana, kalau terusir dari kontrakan ini karena belum terbayar?” dan sebagainya, dan sebagainya.

Situasi ini akan membuat seseorang masuk dalam situasi dilematis, yang sangat berat, dalam hal ini, terutama bagi K. Apakah akan menolong kembali adiknya, membayarkan uang kontrakan bagi adiknya, yang otomatis akan membuat mereka kembali pada pola relasi lama (K menolong H dan H selalu mendapat pertolongan dari K).

Bila sampai pada situasi ini, tentu saja, K harus menguatkan diri dengan terus-menerus hanya memberikan dukungan emosional serta kontak berlanjut pada H. Sampai akhirnya, baik K maupun H menyadari akan kenyataan ungkapan sebagai berikut, ”Siapa yang bertanggung jawab terhadap apa”.


Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment