0

Kekayaan Alam Singapura

Monday, June 20, 2011
Share this Article on :
Singapura merupakan Negara yang mempunyai letak geografis 1,22 lintang
utara dan 103,48 bujur timur. Singapura merupakan pulau yang terletak
diantara Indonesia dan Malaysia, yang memiliki iklim hamper sama dengan
Indonesia dengan iklim tropis dan suhu kelembaban tinggi.
Kondisi alam Singapura tidak banyak memiliki kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan, oleh karena itu relatif sedikit jumlah pabrik yang melkukan

pengolahan industri yang memanfaatkan sumber daya alam, karena
keterbatasan tersebut lebih banyak mengandalkan industri jasa dan
perdagangan.

Dengan wilayah negara yang terbatas maka masyarakat dipacu untuk bekerja
keras dan lahan terbatas maka tumbuh gedung-gedung bertingkat sebagai
kantor dan perumahan-perumahan dalam bentuk rumah susun, flat ataupun
apartemen.
Singapura terletak di ujung selat Malaka, merupakan kota pelabuhan strategis
berbatasan langsung dengan Indonesia dan Malaysia, dengan luas wilayah
Singapura dengan 60 pulau-pulau kecil yang mempunyai nilai ekonomis yaitu
pulau Tekong, pulau Sentosa, pulau Bakum Besar, pulau Merlimau dan pulau
Ayer Chawan. Jumlah penduduk Singapura adalah 4.151.264 (Juli 2000) terdiri
dari berbagai etnis seperti China 76,4 %, Malaysia 14,9 %, India 6,4 % lainnya
6,4 %. Bahasa nasional yang digunakan adalah Bahasa Malay dan bahasa
resmi Bahasa Inggris. Selain itu Bahasa China dan Tamil sering digunakan.
Agama yang dianut warga negara Singapura meliputi Budha, Islam, Kristen,
hindu, Sikh, tao dan Konfusian.
Kekayaan alam dan kesuburan tanah yang dimiliki bangsa Indonesia tidak diperlakukan dengan baik, sehingga tidak mendatangkaan berkah, melainkan justru mudarat. Hutan yang mestinya memberikan kekayaan hayati yang luar biasa dirusak dan dibakar, sehingga menimbulkan banjir di musim hujan, dan mendatangkan asap kebakaran di musim kemarau. Sawah dan pegunungan yang mestinya membuat petani makmur justru menimbulkan bencana. Gunung meletus, sawah diganti pabrik dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Kalaupun petani bertahan, harga gabah dan beras terus merosot karena pemerintah kemudian mengimpor beras.
Lautan yang mestinya menjadi sumber kekayaan bagi bangsa dengan negara kepulauan ini tidak mengabarkan adanya nelayan yang hidup makmur. Kabar yang diterima dari sebagian besar nelayan juga sama, kemiskinan. Mereka terjerat utang rentenir, sehingga berapa pun ikan yang diperoleh dari laut tak kunjung cukup membayar para pembunga uang. Lautan yang merupakan wilayah terluas bagi bangsa Indonesia sesekali justru mendatangkan bencana besar berupa tsunami.
Sedangkan Singapura adalah negara kecil, setara dengan luasnya Bandung Raya. Jumlah penduduknya tak lebih dari enam juta orang. Singapura tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah sebagaimana Indonesia. Mereka tidak memiliki tambang dari dalam tanahnya atau menghasilkan kayu dari hutan, demikian pula laut yang luasnya tidak seberapa. Meski demikian, kekayaan Singapura melebihi kekayaan Indonesia. Bahkan berbagai perusahaan dan bank di swasta di Indonesia, termasuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) sudah dibeli sahamnya oleh perusahaan-perusahaan Singapura.
Karena kemakmuran negaranya, rakyat Singapura terdidik baik (well educated). Meskipun pemerintah Singapura sering dikritik sebagai pemerintahan otoriter dan sangat keras, namun karena kekerasan hati pemerintah itulah telah melahirkan disiplin nasional yang sangat tinggi. Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dilaksanakan dengan sangat disiplin dan konsisten. Tanah yang sejak awal direncanakan untuk dibuat bangunan, jalan, atau tempat yang ha rus dibeton maka dibangun lah, tapi mereka tidak me lupakan tanaman dan pohon.
Tanah yang seharusnya digunakan sebagai serapan air tetap dibiarkan terbuka tanpa dipaksakan dengan bangunan-bangunan apa pun. Akibatnya, selain sistem drainase yang begitu bagus, selama musim hujan pun tidak terdengar masyarakat Singapura kebanjiran. Sepanjang pagi hingga sore hari hujan sekalipun, kendaraan tetap hilir mu-dik dengan lancar tanpa dihadang banjir cileuncang. Pendek kata, begitu air datang maka air itu meresap dan dimanfaatkan untuk kehidupan berikutnya.
Musim hujan di Singapura pun taat asas. Rumus orang awam selalu mengatakan, Agustus adalah awal musim hujan. Sedangkan bulan-bulan sesudah itu merupakan puncak musim hujan. Rumus itu benar-benar sesuai dengan “rumus lama” di Indonesia. Sebab, iklim di Indonesia sudah tidak taat asas lagi. Akibat kerusakan lingkungan yang amat dahsyat, bulan-bulan yang diperkirakan masuk musim hujan justru tetap kemarau. Sebaliknya, bulan mestinya sudah musim kemarau justru malah musim banjir. Jangankan hujan sepanjang hari, satu atau dua jam turun hujan, maka banjir menggenang di mana-mana. Akibat lebih jauh, semua masyarakat Singapura relatif jauh terpelihara kesehatannya. Lingkungan hidup mereka sangat mendukung hidup sehat. Anak-anak mereka terdidik dengan baik, bahkan banyak sekali doktor lulusan Amerika, Eropa, dan Cina.


Artikel Terkait:

0 komentar:

Post a Comment