Yang terdengar hanya suara piano tua. Tidak berdenting nyaring bernada tinggi, hanya membuka kunci lebar… Jenggg….. bukan Tinggg… memberi nuansa kosong yang anggun dan pedih, meskipun tanpa satupun kunci minor. Tapi nuansa yang ia berikan berkata: ini bukan keceriaan…
Suara itu mendengung di kepalaku. ngungg… ngungg… pelan-pelan suara anggun piano yang sepi itu diikuti dengan suara merdu, nyaris seperti suara malaikat…
"Hei, Nak! Kau tak mampu melepasnya, walau pun ternyata sesuatu yang tak mampu kau lepas itu sudah tak ada."
"Itu semua karena batinmu tetap merasa, bahwa kau masih memilikinya…"Ngunggg… ngunggg…
suara merdu itu berubah tak jelas, menjadi dengungan lagi. “Kalimat apa yang dikatakannya ini?” gumamku, sementara aku masih saja berdiri datar di pantai sepi ini…
Hanya suara saja yang ada, tak ada yang lain. Tapi entah mengapa aku yakin, kalau malaikat itu mengatakannya sambil tersenyum damai
"Itulah hukum alam. Tak ada yang abadi! Percayalah, Nak! Walau aku tahu kau tak percaya dengan sepenuh jiwa."Ngunggg…. ngunggg….
Lanjutan kalimat sang malaikat berubah menjadi dengungan lagi.
Hmm… aku sedang sesak.
Ada seribu kata di ujung tenggorokan yang ingin berhamburan, tapi lidah hanya bisa menelan ludah. Menelan makanan pun ditolak kerongkongan, karena disana kata-kata sedang berdesakan. Kata-kata yang berdesakkan di kerongkongan itu tak punya jalan keluar.
Malaikat…
kini ia hanya mengulang-ulang kata-katanya lagi. Mungkin ia memberiku kesempatan untuk bercakap dengan hatiku sendiri.
Aku bukan seorang pencerita.
Tak pula punya teman bercerita. Bagiku, adalah lemah bila orang lain tahu lukaku. I’m just an aloner. Hanya itu. Bisa saja ku terlihat selalu bercanda, selalu ceria, seperti yang selalu teman-teman katakan tentangku; karena memang itulah cermin diriku yang kuingin agar tertanam di mata kalian.
Disaat ini, aku mulai merasa larut di lumpur hisap masalah. Nyaris diam menyerah dan berhenti menendang-nendang berontak lagi. Untungnya, itu sampai hal menakjubkan ini terjadi.
Poster di dinding samping lemariku bergerak-gerak. Poster Soekarno yang sedang berdiri tegap. Bung Karno dalam poster itu begitu saja bangkit berdiri. Ia melotot padaku.
“Hei, Dewa!!!” hardiknya, sementara aku melongo saja, “tak malukah perasaanmu padaku, hah? Aku dipenjara, nyawaku dihargai ratusan gulden oleh penjajah itu! Tapi aku berdiri menantang, sementara kau mencla-mencle begini. Di atas timba pembuangan kotoranku, di dalam bui yang bila ku rentangkan tangan maka kedua telapak tanganku akan menyentuh dindingnya, aku tidak ikut mengkerut. Aku malah melahirkan “Indonesia Menggugat”, yang jadi bacaan masyarakat dunia itu.”
Bung Karno diam sejenak, mengambil nafas, lalu ia melanjutkan;
“Masih merasa merana kah engkau, hei anak manja???” Bung Karno menatapku lekat-lekat dari dinding, “bangun, anakku! Bangung sekarang, SEKARANG, dan sekali lagi SEKARANG!!!”
Aku masih melongo, mengusap-usap mata. Poster Putra Sang Fajar di dindingku baru saja meloncat keluar???
“hehe…” terdengar suara tawa kecil yang tak asing dari atas meja. Aku menoleh kearahmnya, dan keheranan lagi. Nyaris aku meloncat dari duduk sila ku.
“Dewaa… dewa… hehe” Gusdur tersenyum padaku bersama Daisaku Ikeda, berdiri dari sampul buku Dialog Peradaban yang kutaruh diatas meja.
“Masih muda begini. Jangan merasa merana gitu ah… wong saya aja tetep jalan terus biar berusaha disingkirkan mati-matian sama Pak Harto. Berapa hayo keluarga saya matinggak wajar gara-gara saya gak akur sama Orba. Hayo, bangun, senyum… nah kayakgitu. Kamu anak bangsa, jadi kamu cucu saya. Lha iya lah, saya kan Bapak Bangsa,” pesannya sambil terkekeh.
“… rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya…”
mengapa aku baru sadar, mengapa sejak dulu ku sangka kata “memilikinya” di lirik ini berarti “memiliki dia”???
Bukan itu maksud partikel “nya” disini……
rasa kehilangan itu hanya akan ada, bila kau pernah merasa memiliki “rasa kehilangan” itu.
0 komentar:
Post a Comment